Resensi: 168 Jam Dalam Sandera



Judul Buku : 168 Jam Dalam Sandera
Penulis : Meutya Hafid
Penerbit : Hikmah
Jenis Buku : Memoar
Pembaca : Semua Kalangan
Nilai : (4/5) versi KBB



Halo Sobat KBB,

Anda tentunya masih ingat sebuah peristiwa pada awal tahun 2005, pasca terjadinya Tsunami Aceh. Negeri kita dibuat gempar oleh sebuah peristiwa penculikan yang dialami oleh reporter kita dari Metro TV yang bernama Meutya Hafid yang di sandera di Irak karena dicurigai telah menjadi mata-mata pasukan koalisi Amerika yang kala itu memang memicu kerusuhan dalam pemilu pertama di Irak setelah jatuhnya kekuasaan Saddam Hussein. Buku ini menceritakan pengalaman sang tersandera yaitu Meutya Hafid bersama rekannya Budiyono selama dalam penyanderaan di Irak.

Cerita dimulai sekembalinya Meutya dari Aceh, meliput bencana Tsunami. Ia bersama rekannya Budiyono langsung ditugaskan meliput suasana pemilu pertama Irak setelah jatuhnya kekuasaan Saddam Hussein. Negeri Irak yang kala itu benar-benar menyedihkan, menjadi medan yang sangat berat untuk Meutya dan Budiyono dalam menjalankan tugas mereka. Bagdad yang hancur, berantakan, dan mencekam. Jalan-jalan dipenuhi tank-tank militer dan hampir di setiap sudut dijumpai tentara dengan senjata siap meletus. Namun, setelah tugas yang penuh masa penantian panjang dan berliku itu terlaksana dengan baik dan mereka siap untuk kembali ke tanah air, tiba-tiba mereka mesti kembali masuk ke Irak untuk meliput peringatan Asyura di Karbala. Meski sempat didera keraguan, namun akhirnya mereka menyanggupi. Dalam perjalanan mereka yang kedua itulah, peristiwa penculikan itu terjadi.

Ketika mobil mereka berhenti pada sebuah pom bensin, beberapa orang pasukan Mujahidin dengan wajah tertutup Kafiyeh, menyergap mereka dan kemudian membawa mobil mereka termasuk sang sopir KBRI yang mereka sewa, Ibrahim. Mereka dibawa ke sebuah gurun, dimana hanya ada padang pasir yang terhampar luas sejauh mata memandang. Maka tak ada jalan lain bagi Meutya dan Budi, kecuali mengikuti para penyandera. Tak mungkin mereka melarikan diri kecuali ingin mati konyol.
Mereka pun dibawa dalam sebuah gua kecil yang terdapat di gurun.
Hampir setiap malam, bunyi pesawat berseliweran di atas mereka benar-benar menciptakan ketegangan, karena ternyata, gua yang mereka diami, adalah wilayah antara Ramadi dan Fallujah, zona pertempuran antara gerilyawan Irak dan tentara koalisi. Dan itu berarti, jika pertempuran pecah, gua itu akan jadi sasaran empuk berondongan peluru dari kedua sisi berlawanan.

Meski begitu, perlakuan yang mereka terima selama dalam masa penyanderaan, sangat jauh dari kata mengerikan atau sadis. Bersama para penyandera yang ternyata sangat bersahabat, yang bernama Ahmad dan Muhammad, dan Ibrahim sang sopir sekaligus penerjemah mereka, mereka bagaikan sahabat. Saling menceritakan dan berbagi pengalaman seputar diri, pekerjaan dan bahkan keluarga, membuat mereka merasa akrab satu sama lain. Kebersamaan mereka dari hari ke hari nyatanya telah menciptakan suatu ikatan batin diantara mereka. Selama beberapa hari itu, mereka pun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh rasa hormat layaknya tamu. Makanan-makanan dan air setiap hari diantar dalam jumlah yang cukup dan menu-menu yang menggiurkan pula, mesti para Mujahidin lain yang bertugas mengantar makanan-makanan itu mempertaruhkan nyawanya dalam perjalanan menuju gua. Sungguh pelayanan yang mengharukan.

Pembebasan yang berliku-liku pun mesti dilewati dengan penuh kesabaran dan ketegangan. Banyak sekali peristiwa yang rasanya membuat nyawa mereka serasa sudah diujung tanduk, namun secara mengejutkan, ternyata mereka bisa bertahan melewati itu semua.

Buku ini benar-benar memberi pelajaran pada kita, bahwa setiap pekerjaan, memang mempunyai resiko yang kadang memang menantang. Namun kita pun harus mengukur seberapa besar kesiapan kita, dan sampai dimana seharusnya kita melangkah atau berhenti ketika telah diambang batas kemampuan kita. Bukannya maju membabi buta tanpa mengukur kemampuan diri atau hanya bermodalkan nekat. Meutya dan rekannya Budiyono, nampaknya telah mengambil pelajaran yang teramat berharga dimana mereka dipaksa melihat batas dimana mereka harus berhenti, atau terus maju.
Buku ini pun mengajak kita untuk merenungi, pada saat manusia berada dalam keputusasaan dan merasa tak akan melihat matahari esok pagi, ternyata jika Tuhan mempunyai rencana lain, maka apapun menjadi mungkin. Dan hanya atas kekuasaannya, Meutya dan Budiyono, bisa keluar dengan selamat dan sehat walafiat dari Irak yang penuh ancaman.
Tidak hanya penuh dengan ketegangan pada setiap halamannya, buku ini pun kadang mengajak kita tersenyum, tertawa, dan bahkan menitikkan airmata.


Salam Inspirasi.

-Maryam Diyah-
Koordinator Divisi Resensi

0 komentar:

Posting Komentar